MOMEN PERINGATAN 100 tahun Pramoedya Ananta Toer hari ini, 6 Februari 2025, harus menjadi momentum untuk memastikan bahwa negara tidak lagi memenjarakan warga negara hanya karena berkarya atau bersuara secara damai seperti yang pernah dialami oleh Pram.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Pram adalah simbol kemerdekaan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya. Karya-karyanya pernah dibredel oleh negara sembari memenjarakan sastrawan besar Indonesia tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya termasuk di Pulau Buru.
“Separuh hidup Pram dihabiskan di penjara, separuhnya lagi di luar penjara dengan stigma negatif yang tak berdasar. Kebebasan Pram saat itu bukan merupakan hadiah negara, tapi desakan banyak pihak yang menyuarakan pembebasannya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
“Perjuangan Pram adalah perjuangan meraih kehidupan manusia yang bermartabat dan memelihara kemerdekaan berpikir dan juga berkarya, tapi dirampas oleh negara,” kata Usman.
“Anak-anak muda menyukai dan terinspirasi oleh karya-karya Pram. Mereka harus terus melanjutkan perjuangan Pram dengan terus bersuara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Kebebasan Pram dirampas oleh negara. Ini menandakan betapa kuatnya menulis sebagai ekspresi dari kebebasan asasi yang mestinya dilindungi oleh negara,” tambah Usman.