AMBON, arikamdia.id – Legislator tempatnya di parlemen, bukan mencari panggung di media. Dalam ruang publik yang sehat, kritik seharusnya dipahami sebagai bagian dari dinamika intelektual dan kontrol sosial. Sayangnya, tidak jarang kritik justru ditanggapi secara emosional, diseret ke ranah personal, bahkan dianggap sebagai serangan terhadap individu.
Demikian dilontarkan Yandi Wagola, Aktivis Literasi Kota Ambon kepada arikamedia, Senin (21/04/25).
“Inilah yang terjadi ketika pernyataan kritis dari Basir Tuhepaly, seorang akademisi muda yang dikenal vokal, disalah pahami sebagai upaya menjatuhkan pribadi tertentu. Padahal, jika dicermati lebih dalam, kritik yang disampaikan menyasar hal yang jauh lebih substansial: etika kelembagaan,” katanya.
Wagola membeberkan, kritik Basir tidak diarahkan pada karakter atau kehidupan pribadi seseorang, melainkan pada cara kerja sebuah lembaga, yang semestinya menjaga independensi, integritas, dan kredibilitasnya, namun justru tampak gamang dalam bersikap dan mengambil keputusan. Ini adalah isu struktural, bukan personal.
Dipaparkannya, etika kelembagaan menuntut agar fungsi-fungsi formal dijalankan di tempat yang semestinya. Seorang legislator, misalnya, memiliki ruang konstitusional bernama parlemen, bukan media sosial atau pemberitaan media massa, sebagai arena utama dalam menyuarakan sikap politik dan menyampaikan aspirasi publik.