“Rayuan, komentar, dan ujaran seksual yang tidak diinginkan (sexist remarks), intimidasi, persekusi dan ancaman, penghilangan mata pencarian dan pemindahan tempat tinggal, pengawasan yang bias gender, baik oleh publik ataupun media (gender-biased scrutiny by the public and the media),” kata Sitohang.
Tandasnya, dipaksa mengundurkan diri (forced resignations), kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti postingan dokumen rekayasa bernuansa seksual, dan pembunuhan politisi perempuan (assassinations of women politicians/femisida).
Di sisi lain, menurut Sitohang, Komnas Perempuan mencatat bahwa ada korban yang tak ingin melaporkan kekerasan yang dialaminya karena berisiko pada karir selanjutnya. Ruang pemulihan bagi korban dalam konteks politik elektoral juga belum tersedia secara optimal.
Lebih jauh dikatakan, Komnas Perempuan menyesalkan masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan pemilu seperti yang disebutkan di atas mengingat dampak serius, tidak hanya dapat dilihat dari kerugian materil/fisik dan psikis, namun juga secara sosial dan politik.
“Kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu akan berakibat sistematis pada berkurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kandidat perempuan, hingga sulitnya politisi perempuan untuk mengembangkan aktivitas politik mereka,” pungkasnya. (AM-29).