JAKARTA, arikamedia.id – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memutuskan untuk mencabut status internasional 17 bandara di Indonesia. Saat ini, bandara internasional di Indonesia tinggal berjumlah 17 saja.
Keputusan itu tertuang lewat Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional yang diterbitkan pada 2 April 2024. Alasannya, bandara tersebut hanya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional.
Bahkan, Kemenhub mencatat ada bandara yang sama sekali tak memiliki pelayanan penerbangan internasional. Tentunya itu membuat operasional bandara menjadi tidak efektif serta tak efisien.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan pencabutan status Internasional dari 17 bandara itu memberikan keuntungan bagi operator maupun maskapai penerbangan.
Menurutnya, operator bandara akan lebih efisien karena tak perlu menyiapkan banyak personil padahal peminatnya di bandara tersebut tidak banyak.
Sementara, maskapai penerbangan akan lebih sehat karena tidak perlu menyiapkan pesawat untuk penerbangan internasional yang penumpangnya hanya sedikit.
“Operator bandara lebih efisien, maskapai bahkan bisa punya peluang lebih sehat karena bisa melayani penerbangan domestik dengan konsep hub dan spoke,” ujar Adita, seperti dikutip CNN Indonesia.com.
Lalu, apa untung dan rugi pencabutan status 17 bandara internasional ini?
Pengamat Transportasi dan Perkotaan Yayat Supriatna menegaskan kebijakan tersebut tentu mengurangi beban operator bandara yakni Angkasa Pura I dan II yang saat ini sudah dimerger menjadi InJourney Airport.
Menurut Yayat, fasilitas hingga pemeliharaan bandara internasional harus mengikuti standar internasional yang tentu membutuhkan anggaran yang cukup besar.
“Dengan status internasional, Angkasa Pura harus mengeluarkan begitu banyak anggaran untuk menjaga standar internasional, personilnya (SDM), peralatannya, kelengkapannya harus mengikuti internasional dan itu cost,” jelasnya.
Apalagi, bandara yang dihapus status internasionalnya itu selama ini tidak maksimal melayani penerbangan luar negeri, atau bahkan tidak ada. Karenanya, ia menilai kebijakan Kemenhub tersebut sudah tepat.
“Jadi buat apa branding internasional, tapi penerbangannya nggak ada. Hanya akan menjadi beban keuangan. Jadi bagi bandara cost mereka tinggi, rugi mereka,” imbuhnya.
Selain itu, Yayat menilai selama ini ke-18 bandara internasional yang dicabut statusnya tersebut tidak memberikan kontribusi bagi pemasukan maskapai. Sebab, pemerintah daerah (Pemda) yang ada di wilayah itu tidak memberikan dukungan.
“Harusnya Pemda itu melakukan perannya. Misalnya, kembangkan daerahnya menjadi destinasi wisata, dibuat festival, dibuat rame, membangun kerja sama, contoh di Manado, Sam Ratulangi, destinasi wisatanya banyak dikembangkan sehingga potensi pasarnya banyak dan dia membuat MoU dengan beberapa negara. Harusnya itu yang dilakukan pemda-pemda lain itu,” ujar Yayat.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai penghapusan status internasional 18 bandara sudah tepat karena pemasukan tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan.