Oleh : Lusi Peilouw – Praktisi HAM Perempuan dan Anak Maluku
DALAM studi gender, ada satu kata yang sebetulnya dekat sekali dengan masyarakat Maluku, yakni sexism atau seksisme. Michael A. Hogg dan Graham M. Vaughan, 2 pakar psikologi sosial mendefenisikan Seksisme sebagai perilaku prasangka (prejudice) dan diskriminasi yang terjadi berdasarkan pada gender (Hogg & Vaughan, 2011). Dalam perkembangannya, sexism kemudian terbagi menjadi perilaku hostile sexism (Seksisme yang negatif) dan benevolent sexism (Seksisme yang positif).
Tulisan pendek ini akan focus hanya pada Hostile Sexism, yakni seksisme tradisional dalam bentuk lelucon atau candaan (basangaja, dalam bahasa sehari-hari di Maluku) yang menggunakan seksualitas dan kelamin perempuan. Dalam komunikasi publik, rasanya tidak afdol jika kelakar atau candaan atau lelucon tidak dikemas dengan aroma-aroma sexism dan porno. Terkadang hingga menyerang dan sangat merendahkan orang lain (perempuan) bahkan hingga memenuhi unsur kekerasan seksual.
Dianggap paling gampang memancing gelak tawa orang yang mendengar, maka Hostile Sexism ini menjadi sesuatu yang sesuatu yang biasa saja, wajar saja, normal saja. Begitulah dia terpelihara dalam kehidupan sosial Masyarakat Maluku, oleh semua kalangan, di segala ruang waktu dan tempat, bahkan dalam forum-forum resmi.