BeritaNasionalOpiniUtama

Meredupkan Demokrasi: Analisis Filosofis atas Pencabutan Kartu Pers Istana

14
×

Meredupkan Demokrasi: Analisis Filosofis atas Pencabutan Kartu Pers Istana

Sebarkan artikel ini

Konstitusi dan UU Pers: Antara Norma dan Realitas

UUD 1945 Pasal 28F jelas menjamin kebebasan memperoleh informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers melarang pembredelan dalam bentuk apa pun.

Pencabutan kartu pers, jika dilakukan karena alasan politis, sesungguhnya adalah bentuk “pembredelan halus.” Filosofisnya, ini menunjukkan adanya jurang antara norma dan realitas. Negara menjunjung konstitusi secara retoris, tapi menyingkirkannya dalam praktik.

Demokrasi Membusuk dari Dalam

Jika pola pembatasan pers dibiarkan, konsekuensinya serius yaitu wartawan lain enggan bertanya kritis (efek jera); publik hanya disuguhi berita seremonial, bukan informasi substantif; partisipasi mati. Warga kehilangan dasar rasional untuk terlibat dalam politik. Demokrasi kosmetik. Demokrasi hanya menjadi kulit, sementara isinya otoritarian. Dengan kata lain, demokrasi akan membusuk dari dalam, bukan karena kudeta, tetapi karena kebebasan dibunuh pelan-pelan.

Baca Juga  FJPI: Pengembalian Kartu Liputan Wartawan Istana Tidak Menghapus Fakta Intimidasi Terhadap Pers

Menjaga Napas Demokrasi

Filsafat politik mengajarkan bahwa demokrasi tidak bisa bertahan tanpa kebebasan. Dan kebebasan pers adalah salah satu pilar yang menopangnya. Membungkam wartawan kritis dengan pencabutan kartu pers bukanlah urusan sepele. Itu adalah sinyal bahaya bahwa negara mulai lupa bahwa kekuasaan adalah milik rakyat, bukan milik birokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *