Konstitusi dan UU Pers: Antara Norma dan Realitas
UUD 1945 Pasal 28F jelas menjamin kebebasan memperoleh informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers melarang pembredelan dalam bentuk apa pun.
Pencabutan kartu pers, jika dilakukan karena alasan politis, sesungguhnya adalah bentuk “pembredelan halus.” Filosofisnya, ini menunjukkan adanya jurang antara norma dan realitas. Negara menjunjung konstitusi secara retoris, tapi menyingkirkannya dalam praktik.
Demokrasi Membusuk dari Dalam
Jika pola pembatasan pers dibiarkan, konsekuensinya serius yaitu wartawan lain enggan bertanya kritis (efek jera); publik hanya disuguhi berita seremonial, bukan informasi substantif; partisipasi mati. Warga kehilangan dasar rasional untuk terlibat dalam politik. Demokrasi kosmetik. Demokrasi hanya menjadi kulit, sementara isinya otoritarian. Dengan kata lain, demokrasi akan membusuk dari dalam, bukan karena kudeta, tetapi karena kebebasan dibunuh pelan-pelan.
Menjaga Napas Demokrasi
Filsafat politik mengajarkan bahwa demokrasi tidak bisa bertahan tanpa kebebasan. Dan kebebasan pers adalah salah satu pilar yang menopangnya. Membungkam wartawan kritis dengan pencabutan kartu pers bukanlah urusan sepele. Itu adalah sinyal bahaya bahwa negara mulai lupa bahwa kekuasaan adalah milik rakyat, bukan milik birokrasi.