Michel Foucault mengajarkan kita bahwa kuasa bekerja melalui pengendalian wacana. Dengan mencabut kartu pers, negara tidak sekadar melarang bertanya, tetapi juga mengatur siapa yang berhak bicara, dan apa yang dianggap pantas ditanyakan.
Isaiah Berlin menggambarkan dua bentuk kebebasan yaitu kebebasan negatif dan positif. Wartawan kehilangan kebebasan negatifnya (bebas dari intervensi) ketika aksesnya dibatasi. Publik kehilangan kebebasan positifnya (hak untuk memperoleh informasi). Maka pencabutan ini adalah serangan ganda pada wartawan dan pada warga negara.
Hannah Arendt menulis bahwa politik adalah soal membangun ruang bersama di mana orang bisa berbicara dan bertindak. Membungkam wartawan berarti menghapus ruang publik itu. Demokrasi pun hanya tersisa sebagai ritual formal, tanpa substansi.
Noam Chomsky mengingatkan bahwa media sering dijinakkan untuk melayani kepentingan kekuasaan melalui mekanisme halus. Kasus ini memperlihatkan bagaimana “administrasi” bisa dipakai untuk membentuk apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
Dimensi Filosofis: Lebih dari Sekadar Administrasi
Pencabutan kartu pers bukan hanya tindakan administratif. Ia memiliki makna filosofis yang jauh. Secara simbolik, pencabutan kartu pers istana adalah pesan kepada semua wartawan bahwa kritik bisa berujung pada sanksi (efek jera). Sementara dari perspektif pragmatis, pencabutan kartu pers istana berarti mengurangi akses publik terhadap informasi kritis. Sedangkan secara epistemik, pencabutan kartu pers secara sepihak memiliki makna bahwa negara mengklaim monopoli atas kebenaran. Dengan demikian, kebebasan pers di sini dipertaruhkan bukan hanya di level praktik, tetapi di level filsafat demokrasi itu sendiri.