BeritaNasionalOpiniUtama

Meredupkan Demokrasi: Analisis Filosofis atas Pencabutan Kartu Pers Istana

14
×

Meredupkan Demokrasi: Analisis Filosofis atas Pencabutan Kartu Pers Istana

Sebarkan artikel ini

Era Reformasi 1998 meruntuhkan  Orde Baru membuka pintu bagi kebebasan pers. UU Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi tonggak. Pers tidak lagi memerlukan izin pemerintah, dan pembredelan dilarang. Pers memang bebas secara formal, tetapi praktik pembatasan tetap berlangsung, seringkali melalui cara halus berupa intimidasi, kriminalisasi UU ITE, hingga pencabutan akses administratif.

Kasus pencabutan kartu pers istana menegaskan bahwa “roh lama” pembungkaman masih hidup, hanya berganti baju. Sejarah ini mengajarkan kita bahwa demokrasi bisa mundur bukan karena kudeta, tapi karena kebebasan dipersempit perlahan.

Kebebasan Pers dalam Kerangka Filsafat  Politik

Aristoteles menyebutkan bahwa polis yang sehat harus memiliki mekanisme korektif. Jika tidak, kekuasaan mayoritas bisa jatuh dalam tirani. Pers adalah salah satu mekanisme itu. Ia mengingatkan penguasa bahwa mereka tidak absolut.

Baca Juga  Indosat Ooredoo Hutchison Luncurkan PaPeDa, Inisiatif Baru SheHacks untuk Pemberdayaan Perempuan Daerah

Sementara itu, John Stuart Mill berpendapat bahwa melarang sebuah pendapat adalah merampas hak umat manusia, hak untuk tahu yang benar maupun salah. Dengan mencabut kartu pers wartawan kritis, negara sesungguhnya sedang menutup pasar ide.

Selanjutnya Jürgen Habermas menekankan pentingnya public sphere—arena diskusi rasional warga. Pers adalah mediator ruang publik. Jika mediator ini dibatasi, maka ruang publik berubah menjadi ruang propaganda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *