Ia mencontohkan dalam kasus sebuah perusahaan tambang yang hendak melakukan operasi penambangan di kawasan hutan yang ditempati dari generasi ke generasi oleh masyarakat setempat. Tentu hal ini dapat memicu bentrok/konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat setempat. Menurutnya, bila perselisihan yang terjadi terus dituntaskan “secara hukum” yang kaku, hanya akan berakhir dengan masyarakat yang selalu kalah, terlepas faktanya mereka sudah menggantungkan hidup di wilayah tersebut sejak dahulu.
“Yang terjadi apa? Diserbu sama masyarakat. Lalu bagaimana? Di situlah peran hak asasi manusia, dan itu kurang dimainkan oleh law firm (di Indonesia). Di bisnis ada yang namanya UN Global Compact, itu adalah bagaimana investasi tidak boleh memiskinkan tapi harus lebih memakmurkan masyarakat sekitar. Buat apa usaha, tapi berantem terus?”
Mantan Senior Investigator Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI itu menilai sampai sekarang masih banyak lulusan Sarjana Hukum yang sebatas terpaku pada mindset legal positivism. Sampai-sampai menutup mata terhadap fakta di lapangan dan cenderung enggan melakukan pendekatan HAM atas kasus yang melibatkan pihak perusahaan dengan masyarakat sipil. Itulah yang mendorongannya berpraktik sebagai seorang konsultan HAM.