Menyeruput teh hijau yang mulai dingin dengan rasa pahit yang lebih kuat, terlintas tampilan anak-anak perempuan, para gadis dan ibu-ibu berkebaya sambil menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, sebuah tradisi setiap tanggal 21 April. Bersuka cita disaat nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemajuan bagi perempuan yang diperjuangkan Kartini, masih menjadi pekerjaan rumah yang belum dituntaskan selama seratus dua puluh dua tahun. Berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan masih terus terjadi. Kekerasan seksual marak terjadi di ruang-ruang pendidikan dengan aktor orang-orang terdidik, yang seharusnya melindungi.
Perjuangan Kartini masih harus dilajutkan dengan meyakini bahwa perubahan besar dapat dimulai dari ruang terkecil, dari kamar sunyi dengan secarik kertas dan berbagai pertanyaan, sebagaimana dilakukan Kartini. Walaupun dalam pingitan tetap bisa menyalakan cahaya. Dunia boleh mengurungmu, tapi jangan biarkan pikiranmu ikut terkunci.**