…Kami memohon dengan sangat supaya disini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan……..
Pekerjaan memajukan peradaban itu haruslah diserahkan kepada kaum perempuan. Dengan demikian maka peradaban itu akan meluas dengan cepat dalam kalangan bangsa Jawa. Ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikiran maju, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang tangkas. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak-anak yang laki-laki kelak pasti akan menjadi penjaga kepentingan bangsanya. (Surat kepada Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
Sepenggal surat Kartini di atas, menguatkan saya, begitu pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ini adalah senjata pamungkas Kartini dalam membangunkan bangsa Jawa yang tertidur lelap oleh kungkungan adat.
Pemikiran Kartini menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan pendidikan, organisasi perempuan dan bahkan sebagai cikal bakal nasionalisme. Kartini menjadi tokoh berwajah epik, yang melampaui zamannya. Di sisi lain, Kartini menampilkan wajah yang menyimpan luka, menjalani poligami yang tidak disukainya karena bakti dan cintanya kepada sang ayah. Yang tidak sempat melihat dan mengecap buah perjuangannya. Dua wajah yang saling melengkapi, yang hidup diantara harapan dan keterpaksaan.