Oleh: Olivia Ch. Salampessy – Wakil Ketua Komnas Perempuan Periode 2020-2025
SAMBIL MENIKMATI hangatnya teh hijau di pagi hari, saya menyempatkan diri membaca lembar demi lembar buku R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang – Door Duisternis Tot Licht, yang berisi surat-surat beliau. Membayangkan Kartini, seorang gadis remaja di usia dua belas tahun harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia luar. Tidak lagi pergi ke sekolah. Ia dikurung di rumah, dipingit oleh adat yang tak bisa dibantah.
Dari ruang kamarnya yang sepi, ia menghadirkan surat-surat yang lahir dari keresahan, diantaranya kepada Stella Zeehandelaar, Nyonya Rosa Abendanon, Nyonya Nellie van Kohl, Nyonya M.C. E. Ovink-Soer, juga Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya. Keresahan atas kesempatan yang tidak didapatkan perempuan di negerinya, sebagaimana cerita-cerita tentang perempuan di negeri jauh yang bisa bebas memilih jalan hidupnya. Keresahan atas adat yang begitu keras pada mereka yang hanya ingin belajar. Begitu kritis dan peka terhadap kondisi saat itu yang penuh ketidakadilan bagi perempuan.
Surat-suratnya yang melampaui tembok rumahnya, melintasi samudera, sampai ke tangan orang-orang yang terkejut karena seorang gadis Jawa bicara tentang kesetaraan, pendidikan dan masa depan bangsanya. Surat-suratnya adalah panggungnya, yang walaupun tanpa mikrofon dan kerumunan yang bersorak, mampu membakar diam-diam. Bicara tentang perempuan sebagai fondasi peradaban dan pentingnya pendidikan bagi semua perempuan, bukan hanya untuk perempuan bangsawan saja.