Perbedaan penafsiran antara kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan ketidakadilan dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi.
Sehubungan kesimpangsiuran tafsir hukum tersebut, telah terjadi pergeseran mengenai tanggung jawab dalam perkara tipikor; semula merupakan tanggung jawab pidana, berubah menjadi tanggung jawab administrasi.
Hal ini disebabkan eksistensi UU Nomor 30 Tahun 2014 telah menyatakan bahwa penyelenggara negara yang telah melakukan tindakan atau jabatan dan merugikan keuangan negara maka penyelenggara negara yang bersangkutan diwajibkan untuk mengganti kerugian keuangan negara tersebut dalam jangka waktu 30 hari di bawah pengawasan BPK, sehingga kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh perbuatan penyelenggara negara menjadi tanggung jawab administrasi, bukan tanggung jawab pidana.
Perubahan /pergeseran tanggung jawab tersebut khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara yang diduga telah menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan dan jabatannya yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Di dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi, telah terbukti bahwa Mahkamah Agung dan hakim di jajaran kekuasaan kehakiman, berpihak pada yurisprudensi MA aquo tanpa mempertimbangkan lagi eksistensi putusan MKRI terkait sifat melawan hukum dari suatu dakwaan tindak pidana korupsi.
Dari sisi teori sistem hukum yang dikenal sejak lama, sistem hukum Indonesia temasuk sistem hukum Civil Law sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda dan masih dianut sampai saat ini, sekalipun telah terjadi beberapa perubahan terhadap KUHP 1946 dan pergantian KUHP Belanda kepada KUHP dan KUHAP yang baru/nasional.