Oleh : Laurens Dami
DEMOKRASI tidak mati dengan kudeta senjata, ia bisa mati perlahan dengan kebijakan administratif yang tampak sepele. Itulah yang tergambar dalam kasus pencabutan kartu pers wartawan CNN Indonesia oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden. Peristiwa ini tidak berhenti pada soal “akses peliputan”, tetapi membuka pertanyaan mendasar, masihkah negara ini menempatkan kebebasan pers sebagai jantung demokrasi?
Bagi sebagian orang, insiden ini mungkin terlihat kecil. Namun dalam perspektif filsafat politik, ia menyentuh hal yang paling fundamental yaitu hak warga untuk tahu, hak jurnalis untuk bertanya, dan kewajiban negara untuk membuka diri pada kritik. Kebebasan pers bukan sekadar hak profesi wartawan, melainkan hak publik untuk tidak dibohongi, untuk tidak dikurung dalam propaganda, dan untuk bisa menagih akuntabilitas kekuasaan.
Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia
Untuk memahami betapa pentingnya insiden ini, kita perlu menengok sejarah. Pada masa Orde Baru, pers hidup dalam cengkeraman negara. Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bisa dicabut kapan saja jika media dianggap terlalu kritis. Kasus Tempo, Detik, dan Editor yang dibredel pada 1994 adalah contoh nyata bagaimana negara menutup mulut pers dengan instrumen administratif.