Saat seseorang menjawab kritik dengan serangan balik emosional, itu bukan kekuatan, itu kebingungan yang dibungkus arogansi.
Kata Wagola, dan mari jujur: jika tulisan itu memang benar, tidak akan ada kebutuhan untuk menyembunyikan logika di balik narasi yang emosional. Sayangnya, publik bisa menilai mana tulisan yang dibangun dengan akal sehat dan mana yang hanya muncul karena panik disorot.
Basyir tidak perlu menjawab, lanjutnya, tidak karena ia kalah dalam debat, tapi karena ia terlalu tinggi untuk diseret ke level diskusi yang miskin substansi. Diam dalam posisi benar jauh lebih mematikan ketimbang berteriak dalam posisi rapuh.
Lebih lanjut diungkapkan, lagipula, sejak kapan opini panik pantas dianggap tantangan intelektual? Kita bicara soal figur yang sudah teruji, Basyir adalah penafsir realitas, pembaca data, dan perumus argumen.
“Ia tidak sekadar mengkritik, ia mendidik publik melalui kritik. Dan kritiknya terhadap Rovik bukan soal pribadi, tapi institusional: ini tentang bagaimana seorang legislator memahami atau gagal memahami ruang kerjanya sendiri. Dan fakta-fakta itu jelas. Bahkan dalam isu seperti proyek air bersih di Dusun Kopapiyoni, Rovik hanya menunjuk kesalahan tanpa menghadirkan solusi. Di titik ini, fungsi legislatif berubah dari aktor pembangunan menjadi komentator lepas,” pungkasnya.