Karena itu pertama menurutnya, merupakan salah satu strategi untuk memperkuat ke-Indonesiaan, kedua mengatasi masalah-masalah sosial yang bisa menimbulkan gejolak-gejolak seperti kemiskinan.
“Jadi kalau itu dibuka kemauan sudah form bahwa ada moratorium di satu sisi tetapi moratorium itu buka satu ckrawala baru bahwa perlu ada penanganan di wilayah-wilayah khusus yang selama ini selalu menjadi persoalan,” tukasnya.
Presiden sendiri telah mengeluarkan SK untuk daerah-daerah miskin, kalau tidak akar kemiskinan tidak bisa diatasi. Tapi itu tidak otomatis juga, problem lain muncul mempersiapkan juga sumber daya manusia disitu, karena kita trauma dengan Pilkada-Pilkada yang menghasilkan Kepala Daerah yang juga tidak membangun.
Ekspetasi besar untuk pemekaran tambahnya, tetapi ternyata tidak bawa dampak untuk mengatasi fundamental masalahnya. Itu karena faktor figur kepemimpinan. Perlu ada moratorium tetapi di lain sisi perlu ada diskresi kepada wilayah-wilayah tertentu seperti wilayah kepulauan. Diketahui, sebelumnya, pemerintah menerapkan moratorium pemekaran daerah sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya pada 2006. Moratorium itu dilanjutkan oleh Presiden Jokowi selama dua periode pemerintahannya.
Meski begitu, sejumlah usulan pemekaran daerah terus diungkap berbagai kalangan. Pernah ada usulan pembentukan Provinsi Sunda dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada 2022.
Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto juga pernah membawa wacana pemekaran 10 daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia meminta pemerintah mencabut moratorium pemekaran daerah.
Di tengah moratorium itu, pemerintahan Jokowi tetap melakukan pemekaran daerah. Misalnya, pembentukan Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya seiring keberlanjutan otonomi khusus Papua.(AM-29)