Scroll untuk baca artikel
Link Banner
Link Banner
BeritaNasionalUtama

Pro-Kontra Berbagai Pihak Soal Revisi UU TNI, Apa Kata Ketua PBNU dan Kapuspen TNI?

47
×

Pro-Kontra Berbagai Pihak Soal Revisi UU TNI, Apa Kata Ketua PBNU dan Kapuspen TNI?

Sebarkan artikel ini
Tokoh akademisi, pegiat demokrasi, hingga aktivis HAM membacakan petisi tolak revisi Undang-Undang TNI atau RUU TNI di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, 17 Maret 2025. Para tokoh menilai revisi UU TNI hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik seperti makan bergizi gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan, hingga pengelolaan ibadah haji. Tempo/Martin Yogi Pardamean

JAKARTA, arikamedia.id – Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan. Revisi UU TNI yang baru mengusulkan penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga negara.

Beberapa pihak mendukung revisi ini dengan alasan efektivitas pertahanan nasional, sementara yang lain menolaknya karena dianggap menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI. Berikut reaksi dari berbagai pihak.

  1. PBNU

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi’i Alielha atau Savic Ali, menilai revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI, meskipun dalam skala yang lebih terbatas dibandingkan era Orde Baru.

“TNI punya peran di luar wilayah keamanan negara itu artinya dwi fungsi TNI, walaupun dwifungsi yang lebih terbatas, tidak sama persis dengan zaman Orba,” kata Savic yang dikutip NU Online di Hotel Acacia, Jakarta, pada Jumat, 14 Maret 2025.

Baca Juga  Ini Alasan Wali Kota Ambon Gunakan Gedung Terminal Transit Passo untuk Pelantikan dan Pengukuhan JPT

Salah satu poin utama yang disoroti adalah penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurutnya, ini bisa menimbulkan permasalahan struktural dalam sistem pemerintahan, karena ada perbedaan budaya organisasi antara militer dan sipil, melansir Tempo.co.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *