Begitu juga yang terjadi saat genosida di Rwanda, negara di Afrika bagian timur. Pemerkosaan yang dilakukan milisi Hutu dipakai sebagai senjata perang. Para korban dibiarkan tetap hidup untuk menyebarkan virus HIV. Itu menjadi bentuk pembantaian yang lambat sekaligus kejam.
Selama perang di Bosnia, pemerkosaan massal juga digunakan sebagai taktik perang oleh pasukan Serbia dan Kroasia. Mereka menargetkan perempuan muslim Bosnia untuk menghancurkan identitas komunitas melalui teror seksual. Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Wilayah Yugoslavia (ICTY) memang mengakui pemerkosaan massal sebagai kejahatan perang dan genosida, tapi traumanya masih membekas. Sebagian besar pelaku juga belum diadili.
Pada masa Perang Dunia II, Jepang memaksa para perempuan di negara jajahannya menjadi budak seks bagi tentara. Para penyintas menggulirkan protes serta menuntut Jepang mengakui peristiwa itu meskipun terasa getir.
Menghancurkan Identitas
Tubuh perempuan dikonstruksikan sebagai penjaga kehormatan keluarga dan bangsa, begitu cara pandang masyarakat patriarkis. Tesis Andrea Dworkin dalam Pornography: Men Possessing Women serta Catharine MacKinnon dalam Feminism Unmodified menunjukkan mitos purba tentang keperawanan, kesucian, dan kemuliaan tubuh perempuan ada dalam literatur, dikukuhkan media, serta dilanggengkan budaya.