“Contoh kemarin ada ibu Mona yang minta izin untuk membuat berita dari status WA saya, soal 10 jari yang sumbernya dari Surat Keputusan Bersama (SKB), BKN, dan MenPanRB. SKB No. 2 tahun 2020 kalau tidak salah yang melarang ASN melakukan potret dengan 10 gaya jari, ini yang hari ini saya lihat media belum masif memberitakan itu,” akuinya.
Menurut Stevin, kalau media membantu kami memberitakan tentang SKB No. 2 maka dengan sendirinya jurnalis telah membantu Bawaslu. Itu yang Bawaslu maknai sebagai pola pengawasan partisipatif, mitigasi, pencegahan artinya menginformasikan sebanyak-banyaknya lewat berbagai macam cara atau metode atau pendekatan kepada publik terhadap apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dihindari.
“Kalau kita melihat data, ada kenaikan dari darurat isu-isu atau konten negatif selama masa kampanye pemilihan di tiga tahun terakhir ini dan bisa saja presentasinya naik dan juga bisa turun. Nah kalau 2021, berita hoax itu 22,7%, kemudian 2022 itu 32,3%, kemudian di tahun 2023 55,5%. Artinya secara statistik ini mengalami kenaikan, pertanyaannya adalah apa yang salah? mestinya dengan kemajuan teknologi yang bisa digunakan secara baik untuk mendelivery berita-berita yang positif tapi malah terbalik, publik atau masyarakat lebih mengakses isu-isu yang sifatnya hoax atau tidak benar,” paparnya.
