“Dalam perjanjian kerja sama, 60% hasil retribusi masuk ke kas negeri, dan 40% untuk Pemkot Ambon. Rata-rata penerimaan bulanan dari retribusi ini mencapai Rp7–18 juta,” terangnya.
Menanggapi tudingan soal praktik jual beli lapak dengan harga tinggi, Arlis tidak menampik bahwa praktik semacam itu terjadi. Namun ia menegaskan bahwa pemerintah negeri tidak terlibat dalam praktik tersebut.
“Yang terjadi adalah transaksi antar oknum pedagang. Jika kami menemukan bukti kontrak-kontrak ilegal, kami langsung memanggil pihak-pihak terkait dan memutuskan izin pakai tempat tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Seluruh pungutan pasar, lanjutnya masuk ke kas desa sebagai bagian dari Pendapatan Asli Desa (PAD) dan digunakan untuk pembangunan serta pemberdayaan masyarakat.
Pungutan itu pun diatur berdasarkan Peraturan Negeri tentang Pungutan dan PAD tahun 2019.
Selain itu, Lisaholet juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang merancang pembangunan Pasar Apung yang representatif untuk menampung pedagang yang kini masih menempati ruas jalan.
Ini sebagai langkah strategis untuk menata kawasan pasar tanpa menghilangkan potensi ekonomi dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
“Kami tidak ingin pasar terlihat kumuh, tetapi penataan dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan dan demi keberlangsungan ekonomi masyarakat,” ucapnya.