“Kami dari marga Kwipalo tidak menerima. Jadi kami mempertahankan hak ulayat kami, di tanah adat kami, tetap tidak kami kasih [ke perusahaan],” suara penolakan lain datang dari Vincent Kwipalo, warga Merauke dari Suku Yei.

Ia tinggal di Distrik Jagebob. Kampungnya masuk kluster tiga yakni proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol.
Suatu hari ia dibikin kaget, saat menilik kebun karet miliknya. Patok-patok merah putih tertancap di sana. Di tanah yang sedang ia pertahankan.
“Ada patok-patok yang ditanam di kebun, kebun karet Bapa. Patok merah putih. Itu kita tidak tahu maksudnya apa,” cerita Vincent kepada BBC News Indonesia.
Ia kemudian mempertanyakan itu ke petugas dan mendapati jawaban bahwa patok tersebut adalah batas perusahaan.
Vincent lantas meminta agar patok segera dicabut. Sebab sebagai Ketua Marga Kwipalo, ia harus menjaga kepercayaan kelompoknya bahwa marga Kwipalo sepakat tetap menolak menyerahkan tanah adat mereka untuk proyek tebu dan bioetanol.
“Terus [dengan patok itu] tanah yang seluruhnya sudah milik perusahaan? Tanpa konfirmasi dengan kami. Kalau sudah seperti begini, kami mau dikemanakan?”
Analisis tumpang susun—peta perusahaan yang beroleh izin proyek tebu dan peta wilayah adat Yei—oleh Yayasan Pusaka mendapati sebagian besar pengerjaan ada di wilayah adat Suku Yei seluas lebih dari 300.000 hektar. Sisanya berada di wilayah adat Marind.