Saidin mengatakan, sekarang kita punya influenzer orang-orang yang memiliki pengikut banyak di media sosial (medsos) kemudian turut berbicara dalam konteks keagamaan yang kita khawatirkan adalah pandangan keagamaan yang disampaikan cenderung dangkal dan dalam konteks masyarakat Maluku mungkin tidak berkesesuaian dengan fakta sosiologis dan antropologis.
Diungkapkan, itu yang sangat kita khawatirkan, jadi kalau kita buat gambaran kalau daerah sekarang apa yang disebut dengan kebenaran, kita berpikir mestinya apa yang kita perlu lakukan untuk mendapatkan kebenaran, kita yakin kita pasti benar.
Menurutnya, dengan kata lain orang tidak mencari kebenaran tetapi mencari informasi dan dukungan terhadap keyakinan yang dimiliki dan ini secara dramatis didukung oleh sistim digital yang diperkuat melalui algoritme.
”Sekali kita atau beberapa kali mencari informasi dengan fokus tertentu algoritme mendukung kita untuk terbiasa hidup dalam ruang informasi yang sama dan ini sangat membahayakan. Kita tidak memiliki lagi keberagaman, karena dibentuk oleh satu sudut pandang tertentu saja jadi kalau teman mahasiswa atau pesantren uang sering buka misalnya satu isu spesifik sekarang ini lagi ramai dengan masalah Palestina dan kita menganggap itu problem keagamaan tidak selalu benar dipenuhi dengan hoaks,” ujarnya.










