

Inisiasi pemetaan ini didukung oleh empat Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang turut hadir dalam acara tersebut. Keempat organisasi tersebut adalah Forest Watch Indonesia (FWI), Sajogyo Institute (SAINS), Rekam Nusantara, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Maksum Syam mengatakan: “Rajutan solidaritas horizontal yang masih terjaga antar marga, desa dan Masyarakat Adat Rumpun Alar adalah tenaga dalam atau modal sosial yang menentukan. Hal baiknya dalam pertemuan ini tokoh masyarakat adat dan beberapa kepala desa dan komunitas menunjukkan kesepahaman yang sama terkait pentingnya menjaga kedaulatan atas ruang hidup mereka.”
Diyantoro, dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengatakan tentang pentingnya penataan ruang darat dan laut di komunitas masyarakat adat. “Masyarakat adat harus bisa menunjukkan bahwa selama ini mereka memiliki penataan ruangnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya alam di Kepulauan Aru secara berkelanjutan. Praktik penataan ruang ini harus didokumentasikan dan dipetakan agar menjadi pegangan generasi penerus masyarakat adat”.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif FWI, Mufti Barri. Beliau mengatakan, “Sampai hari ini tercatat ada 4 gelombang ancaman terhadap sumberdaya alam di Kepulauan Aru. Pertama, eksploitasi hutan dan laut pada zaman orde baru; kedua, rencana eksploitasi hutan oleh Aru Manise Group, Nusa Ina Group, dan Menara Group pada tahun 2010-2015; ketiga, rencana peternakan sapi skala besar oleh Jhonlin Group pada tahun 2020; dan keempat rencana operasi PBPH Wana Sejahtera Abadi dan perdagangan karbon oleh Melchor Group pada tahun 2022. Oleh karena itu, pemetaan wilayah adat harus segera dilakukan sebelum hadir izin-izin yang nantinya merusak hutan-hutan, pulau-pulau, dan laut di Kepulauan Aru,” tegas Mufti Barri dalam paparannya.