Diungkapkan, kalau ada masalah kepemimpinan, mestinya panggil, duduk bersama. Nilai sejarahnya sangat panjang. Jangan karena konflik, lalu ganti nama atau bikin organisasi baru. Itu bisa memunculkan dualisme dan berdampak pada stabilitas.
Menurutnya, rekonsiliasi yang sebelumnya telah ditempuh antara dua kubu kepemimpinan Hena Hetu, apalagi penyatuan itu sudah berjalan, sehingga penilaian soal layak atau tidaknya seorang pemimpin seharusnya melalui mekanisme musyawarah besar atau musyawarah luar biasa, bukan deklarasi kelompok baru.
“Kalau dianggap tidak mampu memimpin, wajar dilakukan musyawarah luar biasa. Tapi bukan kemudian mengganti nama organisasi yang sudah punya sejarah dan nilai adat,” ujarnya.
Diingatkan, bahwa pengesahan organisasi adat di Maluku wajib melibatkan Gubernur, karena gubernur memiliki posisi adat sebagai pemimpin tertinggi yang mewakili pemerintah dan raja-raja.
Siapa pun boleh bentuk organisasi, tapi lanjutnya, kalau bicara lembaga adat di Maluku, pengesahannya wajib oleh Gubernur sebagai pemimpin adat dan pemerintahan. Itu aturan. Kalau tidak, nanti muncul banyak organisasi tanpa dasar yang jelas.
Lebih jauh ditegaskan, penolakannya terhadap tindakan yang dianggap merendahkan atau menyingkirkan nama Hena Hetu.










