Geger tambang nikel Raja Ampat juga menunjukkan pengawasan dan penegakan hukum yang lemah. Para pejabat tak mesti menunggu protes aktivis lingkungan Greenpeace atau menantikan alam hancur untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran izin tambang nikel ini.
Pada 2022, Presiden Joko Widodo menunjuk Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang mengevaluasi ribuan izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Bahlil mencabut 2.078 izin tambang, termasuk lebih dari 100 konsesi nikel, karena tak produktif dan melanggar hukum.
Bukannya mencabut semua izin tambang nikel Raja Ampat, tiga hari sebelum dilantik menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil menghidupkan izin satu perusahaan dan menerbitkan izin baru bagi perusahaan lain. Tanpa malu apalagi merasa bersalah, Bahlil mengklaim izin nikel Raja Ampat terbit sebelum ia menjadi menteri.
Kisruh nikel Raja Ampat juga mengungkap salah jalan pemerintah memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Dengan dalih menghidupkan ekonomi, “hilirisasi” sumber daya alam hanya kedok menyedot aset berharga Indonesia untuk keuntungan para kroni.
Mereka yang berada di balik konsesi tambang nikel Raja Ampat adalah elite partai politik dan konglomerat pendukung penguasa. Sudah lama pemanfaatan sumber daya alam hanya kamuflase pengerukan kekayaan yang menguntungkan elite dan bohir politik.