Ida–sapaan Djuraidah–mengaku yang berinisiatif membentuk Bank Sampah Mekar Sari lebih dari satu dekade lalu. “Waktu itu saya masih menjadi Ketua RT,” katanya lagi. Saat itu, pada 2014 silam, Ida menuturkan, hanya beberapa keluarga yang terlibat. “Kini jumlah anggota mencapai 346 kepala keluarga. Bahkan ada yang mengirimkan sampah dari luar wilayahnya lewat jasa kurir.”
Seiring waktu, Ida mengatakan, warga mulai terbiasa memilah sampah dari rumah. Hasilnya dicatat dalam buku tabungan—jumlah sampah dalam kilogram dan nominal uangnya. Sampah kemudian disetorkan oleh Bank Sampah Mekar Sari ke Bank Sampah Induk (BSI) di Menteng, yang menghubungkan langsung dengan vendor daur ulang atau perusahaan/industri, dilansir dari Tempo.co.
Di balik rutinitas dua mingguan yang sudah berjalan 11 tahun itu, Ida menuturkan, Mekar Sari terus bertahan berkat kerja sukarela para warga. Dia menyatakan, tak ada yang digaji. “Hanya modal semangat untuk memastikan sampah tak jadi beban lingkungan di sini, tapi malah bisa kembali bernilai,” kata Ida.
Itu sebabnya, dia menambahkan, keberhasilan terbesarnya bukan pada jumlah tonase sampah yang bisa dipilah, melainkan perubahan kebiasaan warga. Bank sampah, menurutnya, bukan sekadar tempat mengumpulkan plastik dan kardus. Lebih daripada itu, dia percaya gerakan ini bisa menjadi jawaban atas masalah sampah kota.