“Dana transfer pusat ke daerah itu dihitung berdasarkan sejumlah indikator, salah satunya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk. Jika luas wilayah kita berkurang, otomatis dana yang kita terima juga akan berkurang. Ini akan sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk membiayai berbagai program pembangunan,” jelas Laturiuw.
Laturiuw mencontohkan, pada tahun 2025, Kota Ambon menerima dana transfer pusat sebesar Rp1,2 triliun. Namun, pada tahun 2026, dana tersebut diproyeksikan akan dipangkas menjadi hanya Rp978 miliar, ini adalah dampak nyata dari penyusutan luas wilayah yang kita alami.
“Untuk itu kami ingin mendengar langsung dari Walikota, apa yang sebenarnya terjadi. Kami juga ingin tahu, apa langkah-langkah yang akan diambil untuk memastikan bahwa Kota Ambon tidak kehilangan haknya atas dana transfer pusat,” lanjut Laturiuw.
Laturiuw mengingatkan bahwa fenomena penyusutan wilayah ini tidak hanya terjadi di Kota Ambon, tetapi juga di sejumlah kabupaten/kota lain di Maluku.
Laturiuw mengajak seluruh elemen masyarakat Maluku untuk bersatu dalam menghadapi persoalan ini.
Selain persoalan luas wilayah, ia juga menyoroti masalah lain yang tak kalah penting, yaitu belum adanya kejelasan tentang pengakuan 22 negeri adat di Ambon yang hingga kini belum teregistrasi di Kementerian Dalam Negeri. (AM-18)










