Jaleswari Pramodhawardani – Kepala Laboratorium Indonesia 2045

PEMERKOSAAN massal merupakan babak kelam sejarah yang ditulis di atas tubuh perempuan. Tragedi tersebut pada hari-hari ini menjadi arena pertempuran wacana yang didominasi cara pandang maskulin.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon tak hanya melakukan kesalahan fatal tatkala mereduksi pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 sebagai “rumor” belaka. Ia berpartisipasi aktif dalam kejahatan historis dan melanggengkan kekerasan simbolik yang sangat kejam.
Aliansi Perempuan Indonesia, sebagaimana ditulis Tempo, menolak klaim Fadli karena sikap kader Partai Gerindra itu mengingkari kebenaran dan menimbulkan trauma bagi para penyintas kekerasan seksual serta keluarganya.
Memori Kolektif yang Pahit
Sejarah punya berbagai contoh ketika tubuh perempuan menjadi target dalam konflik. Kita bisa menyebutkan contoh peristiwa pembantaian di Nanking, Cina, pada 1937. Selama invasi Jepang ke Tiongkok itu, ribuan perempuan diperkosa, disiksa, dan dibunuh.
Pemerintah Jepang menolak mengakui skala dan kekejaman peristiwa itu selama puluhan tahun. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai “insiden”. Praktik penyangkalan, yang sering disebut sebagai history wars, memaksa para korban berjuang demi pengakuan atas kebenaran. Tubuh perempuan Tiongkok menjadi simbol penaklukan dan kehancuran.