Dalam sebuah wawancara dengan media massa, anak perempuan Pram Astuti Ananta Toer bercerita bahwa Basuki Effendy, seorang aktor-sutradara yang juga menjadi tahanan politik saat itu, memberitahu dia bahwa ayahnya mau dibunuh. Dia meminta agar Astuti segera menghubungi Amnesty International terkait rencana pembunuhan Pram tersebut.
Tak hanya dipenjara. Selama di Pulau Buru Pram juga dilarang menulis, setidaknya hingga tahun 1973. Akses kepada pensil, pulpen dan kertas dihilangkan. Amnesty International sempat mengirimkan mesin ketik ke Pulau Buru untuk Pram agar ia bisa kembali menulis.
“Amnesty mendapat informasi bahwa mesin ketik pertama yang diberikan oleh seorang filosof Perancis yaitu Jean-Paul Sartre kepada Pram rusak. Oleh karena itu Amnesty International mengirimkan mesin ketik kepada Pram yang waktu itu dibawa ke Pulau Buru melalui seorang petugas Palang Merah Internasional atau ICRC,” tambah Usman.
Pada saat itu hanya ICRC yang memiliki akses masuk ke Pulau Buru.
Lewat peringatan seabad lahirnya Pramoedya ini negara juga harus membebaskan semua tahanan yang dipenjarakan hanya karena ekspresi damainya termasuk mereka yang telah dijerat UU Pidana terjerat UU ITE, UU Penodaan Agama, UU Makar, maupun UU Pornografi.