Menurutnya, mereka membentuk 20 koperasi, dan kondisi disana masyarakat menolak dan mendesak agar mereka keluar dari Kayeli. Penolakan ini berdasarkan pengalaman sebelumnya, hasil atau keuntungan yang didapat dari tambang hanya kepada pemilik, sedangkan masyarakat yang tergabung di bodohi. Kalau buka amplop hanya 100 atau 200 ribu.
“Atas dasar itu, kami datang ke rumah rakyat, Karang Panjang, Ambon, untuk memberi dukungan, sehingga dapat menyampaikan ke Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, agar tidak ada lagi pihak yang melakukan aktifitas pertambangan secara ilegal, sambil menunggu izin resmi dari pemerintah pusat. Karena keinginan dari masyarakat di Petuanan Kayeli, bukan koperasi yang masuk, tetapi pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten harus menata secara baik,”ucapnya
Kata Ibrahim, jika pertambangan dikelola dengan baik berupa pabrik, dengan izin resmi, maka tentu akan berdampak luas kepada masyarakat, bukan memberi keuntungan kepada pihak-pihak tertentu. Bayangkan dengan potensi yang besar, SDM di Kabupaten Buru harus bekerja keluar seperti Maluku Utara, yang kini berjumlah 10 ribu orang. Bayangkan tidak ada pendapatan sama sekali ke Pemda.
Hal ini juga terjadi karena pemerintah daerah Kabupaten Buru sambungnya, terkesan lambat merespon polemik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terkhususnya di Kayeli.