Merangkai kata-kata sexist seperti itu sebagai materi kampanye, menunjukan bahwa calon kepala daerah kita tidak peka dengan situasi Maluku dengan kedaruratan yang saya maksudkan. Menganggap bahwa candaan sexist adalah sesuatu yang biasa saja, menormalkannya karena toh itu sudah biasa bagi masyarakat Maluku.
Padahal, ada banyak kalangan yang hari-hari ini begitu peka dan tidak nyaman bahkan bisa saja terluka secara psikologis dengan perilaku semacam itu.
Tim kampanye harus lebih baik lagi menyiapkan materi kampanye kandidat dan mengemasnya secara lebih elegant, cerdas, humanis dan terutama adil bagi semua orang.
Perilaku sexism yang tertutup dari publik
Kami mendapatkan pengaduan tentang perilaku hostile sexism yang terjadi dalam lingkup kecil sebatas komunikasi personal antara tim yang tidak terpublikasi personal ataupun di dalam tim pemenangan. Satu diantaranya adalah salah satu kandidat laki-laki yang “menerang” kandidat perempuan dengan ujaran lelucon sexism tidak senonoh.
Ujaran ini merespon strategi kampanye pasangan tertentu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan menganalogikan diri mereka sebagaiBapak dan Ibu (Papa dan Mama) dari rakyatnya. Menurut saya ini pemilihan diksi yang baik, sangat wajar. Namun ada kandidat lain, yang itu laki-laki, yang memandangnya dengan kacamata hostile sexism yang berbunyi: “Papa deng Mama par masyarakat…., maar bae-bae jang nanti abis itu Mama kore-kore Papa”.