Mengemas closing statement secara sexist bukanlah cara-cara berpolitik yang demokratis dan bermartabat, dan sangat tidak mendidik. Pemilihan kata dan frasa yang sexist dan berbau porno adalah sangat sopan dan tidak pantas. Jadi, sesunggunhnya kandidat yan bersangkutan telah melanggar aturan main berkampanye.
Sebagai bentuk penegakan aturan dan etika kepemiluan, Bawaslu sebagai wasit yang hadir pada saat itu seharusnya memberikan teguran kepada kandidat yang bersangkutan. Tapi itu tidak terjadi. Jika itu dilakukan secara terbuka, akan menjadi pendidikan politik yang baik bagi peserta pemilukada dan juga masyarakat. Tetapi berharap di luar selepas debat telah ada langkah penegakan administratif yang dilakukan pada peserta pemilukada yang melakukan pelanggaran dimaksud. Jangan sampai publik menilai Bawaslu tidak peka, yang bisa jadi dikarenakan juga terlalu terbiasa dengan pelaku hostile sexism atau mungkin saja disebabkan oleh kebutaan akan pemahaman hostile sexism sebagai perilaku yang tidak edukatif dan merupakan pelanggaran norma dan etika, atau sebab lainnya.

Pemicu trauma korban kekerasan seksual
Bukan tanpa alasan kami menentang perilaku candaan sexist semacam itu. Kami berangkat dari realita miris bahwa Maluku beberapa tahun belakangan mengalami kedaruratan kasus Kekerasan Seksual. Tidak sedikit kasus kekerasan seksual yang berakar ataupun berkorelasi sebab-akibat dengan candaan-candaan sexist seperti yang disampaikan oleh kandidat wakil gubernur. “akang sedap” pada beberapa kasus dipakai oleh pelaku perkosaan untuk merayu korban. Sehingga kata-kata demikian dapat mereviktimisasi korban kekerasan seksual oleh karena menyentil pengalaman traumatiknya. Ini yang sangat kami sayangkan.