Alasan keempat, pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil dapat mengancam supremasi sipil, membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara, hingga menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Hal ini menandai profesionalisme militer yang justru akan semakin melemah.
Alasan kelima, Satria menekankan bahwa impunitas juga berpengaruh terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia. Di antaranya, melalui melalui sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai tindakan represi lainnya menjadikan situasi kebebasan akademik semakin memprihatinkan.
Alasan keenam, menurut Satria, perubahan UU TNI dapat dikategorikan sebagai kejahatan legislasi. Ini karena bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Satria memandang, pelaksanaan rapat pembahasan revisi UU TNI di hotel secara tertutup dan mengerahkan penjagaan yang intensif oleh Komando Pasukkan Khusus (Kopassus) menunjukkan proses pembentukannya sangat jauh bertentangan dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).