JAKARTA, arikamedia.id – Rencana pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Ini setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah akan membatasi pemberian subsidi mulai 17 Agustus 2024.
Luhut mendalilkan bahwa masih banyak orang yang tidak berhak menerima subsidi, namun menikmatinya. Sehingga, menurutnya hal ini perlu dibenahi supaya ke depan tak semakin membebani kesehatan keuangan negara.
“Kita berharap 17 Agustus (2024) ini orang yang tidak berhak mendapat subsidi akan bisa kita kurangi,” ucap Luhut dalam unggahan akun Instagram resminya, Selasa (9/7).
Harapan itu ia sampaikan terkait proyeksi defisit APBN 2024 yang akan lebih besar dari target pemerintah. Hal ini terjadi seiring dengan pendapatan negara yang diproyeksi tidak mencapai target.
Penurunan penerimaan negara itu katanya, terutama disebabkan oleh merosotnya setoran PPh badan dari perusahaan-perusahaan berbasis komoditas, yang terkena dampak penurunan harga komoditas secara tajam.
Hal itu, sambungnya, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan dan keseimbangan anggaran negara, dikutip dari CNNIndonesia.
Oleh karena itu, ia mengatakan pengurangan konsumsi subsidi, salah satunya BBM, bisa berdampak besar pada penurunan inefisiensi yang terjadi di Indonesia selama ini.
Menanggapi pernyataan itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan pihaknya sedang menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2024 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak untuk membatasi pembelian BBM subsidi agar tersalurkan secara tepat sasaran.
Menurut Erick, tujuan dari revisi perpres tersebut adalah untuk menghindari penyalahgunaan subsidi yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat kelas bawah.
“Kita sedang menunggu Perpres 191 di mana BBM tepat sasaran. Jangan sampai BBM ini digunakan oleh orang yang mampu, tetapi mendapatkan BBM bersubsidi,” tutur Erick di Kantor Pos Kota Tua, Jakarta, Rabu (10/7).
Ia menegaskan Kementerian BUMN tidak terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan tersebut. Sebagai korporasi negara, BUMN hanya menunggu pengesahan revisi Perpres 191.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pernyataan tak seirama dengan Luhut. Ia mengklaim belum ada sinyal atau keputusan pemerintah terkait pembatasan pemberian BBM subsidi mulai 17 Agustus nanti. Menurut dia, wacana itu masih dirapatkan.
Airlangga juga memastikan wacana tersebut belum tertuang dalam revisi Perpres 191/2014. Pasalnya, di dalam perpres tersebut akan ada aturan baru soal penyaluran BBm subsidi kepada masyarakat.
Di sisi lain, penyaluran subsidi yang tak tepat sasaran masih menjamur. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan banyak orang kaya yang menikmati subsidi BBM hingga LPG.
Jumlah orang kaya penikmat BBM subsidi disebut-sebut lebih banyak dari rakyat miskin yang seharusnya menerima bantuan tersebut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mencatat ada 60 persen orang kaya yang menikmati BBM subsidi.
Lantas, sebetulnya perlukah pemerintah memberlakukan pembatasan pembelian BBM subsidi dalam waktu dekat?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat pembatasan pembelian BBM atau ration policy memang menjadi salah satu opsi untuk mengurangi beban fiskal yang diakibatkan oleh depresiasi rupiah yang cukup parah.
Kata dia, biasanya hal ini akan diberlakukan untuk BBM varian yang paling banyak bersubsidi seperti Pertalite.
“Wacana kebijakan ini sangat bisa dipahami, karena opsi menaikkan harga BBM kurang populis secara politik dan secara ekonomi akan berpengaruh besar terhadap performa pertumbuhan, karena akan semakin menekan daya beli dan konsumsi masyarakat,” ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/7).
Perkara tepat atau tidaknya wacana ini, menurutnya, tergantung pada sudut pandang. Ia menilai di mata publik, pembatasan maupun menaikkan harga sama-sama akan sulit diterima. Sebab, ada risiko yang sulit ditangani jika pembatasan diambil, yakni kenaikan harga BBM di level ritel non Pertamina.
Karena BBM berkurang di pasaran, maka menurutnya harga BBM di pasar di luar ritel Pertamina akan naik dan dijual dengan harga tinggi. Ini akan buruk untuk konsumen BBM subsidi yang jauh dari jangkauan Pertamina, misalnya di desa-desa pegunungan dan daerah-daerah yang terpencil.
“Bahkan tidak menutup kemungkinan akan muncul pasar gelap, di mana pelaku akan menggunakan jaringan jahat di dalam pemerintah atau Pertamina untuk mendapatkan BBM subsidi, lalu dijual dengan harga mahal di daerah-daerah yang kurang terjangkau oleh jaringan pemasaran Pertamina,” jelas Ronny.
“Terlepas dari tepat atau tidak rencana kebijakan ini, yang jelas sangat kentara terlihat bahwa pemerintah mulai berhitung tentang risiko fiskal dari depresiasi tajam rupiah belakangan ini, di tengah potensi melemahnya pendapatan negara,” imbuhnya.
Ronny menilai pembatasan memang bisa mengurangi tekanan fiskal, namun dapat menyebabkan kelangkaan pada varian BBM tertentu karena mengganggu keseimbangan permintaan dan penawaran BBM subsidi.
Ia melihat wacana ini mencuat dari pemerintah bukan untuk mengurangi defisit yang telah ditetapkan atau direncanakan, tapi untuk mengantisipasi agar defisit tidak terlalu melebar.
“Jadi pertanyaannya bukan lagi berapa yang bisa dihemat, tapi sampai batas berapa defisit bisa ditahan, agar tidak terlalu mengganggu performa ekonomi dan performa fiskal nasional,” tutur Ronny.
Menurutnya, dalam kondisi saat ini, di mana depresiasi rupiah yang terlalu jauh dan pelemahan penerimaan negara yang cukup signifikan, pilihan kebijakan yang tersisa sangat terbatas.
Ada beberapa pilihan kebijakan yang bisa diterapkan menurut Ronny. Pertama, mengorbankan rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Kedua, mengorbankan rakyat dengan cara membatasi BBM bersubsidi.
Ketiga, tetap pada posisi status quo harga dan volume supply, tetapi melebarkan defisit alias menaikkan plafon utang dengan mengorbankan pendapatan negara di masa depan.
Keempat, pemerintah yang berkorban dengan memangkas belanja, terutama belanja rutin dan operasional yang tidak penting.
“Dan langkah terbaik adalah langkah yang risikonya paling sedikit kepada kehidupan ekonomi rakyat, hari ini dan masa mendatang,” ucap Ronny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut wacana pemilahan atau mengontrol pemanfaatan subsidi BBM sudah digodok sejak lama. Sebab, kuota BBM subsidi selalu hampir ludes pada 2022, terutama setelah melewati pandemi, di mana mobilitas menjadi tinggi.
Faisal menilai pemerintah perlu mengusahakan dalam mengontrol pemberian subsidi BBM agar pemanfaatannya tidak salah sasaran. Menurutnya, salah satunya adalah dengan penyeleksian kendaraan di pusat-pusat atau tempat pengisian bensin.
“Jadi subsidi itu lebih menyasar pada orang yang betul-betul atau kendaraan yang betul-betul diasosiasikan atau yang merupakan representasi daripada kepentingan konsumen menengah ke bawah. Jadi misalnya kendaraan umum, kemudian sepeda motor,” tutur Faisal.
Infografis Jenis-jenis Mobil yang Dibatasi Beli BBM Subsidi Pakai Kartu Pertalite. (Astari/CNNIndonesia).
“Sementara mobil, apalagi yang mahal, itu semestinya tidak boleh. Jadi ini yang semestinya sudah dilakukan sejak lama supaya subsidi BBM itu menjadi lebih tepat sasaran,” imbuhnya lebih lanjut.
Hal ini pun menurutnya bisa berdampak pada fiskal sehingga kuota subsidi BBM tidak terlewati. Jika kuota itu terlewati, Faisal menjelaskan perlu ada tambahan supply dari BBM bersubsidi.
Maka itu, menurutnya, penyeleksian itu lah yang perlu dilakukan pemerintah. Pasalnya, kebutuhan BBM itu semakin lama semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan juga pertumbuhan penduduk yang konsumsinya ikut meningkat. Sementara dari kapasitas anggaran terbatas.
“Dengan demikian, diharapkan bisa menjadi lebih tepat sasaran. Dan dari sisi APBN juga lebih efektif karena subsidi menyasar kepada masyarakat yang semestinya mendapatkan subsidi,” jelasnya lebih lanjut.(**)