Sejatinya Indonesia telah memperkenalkan Sistem Perdagangan Emisi dan Pajak Karbon. Hanya, aturan yang mestinya berlaku di 2022 diundur menjadi 2025. Padahal peluang Indonesia cukup besar dari pemajakan karbon. Tanpa aturan, maka tak ada daya tekan untuk mengurangi emisi maupun transisi energi.
Itu juga tercermin dari kebiasaan Indonesia yang sampai saat ini terbilang santai menyiakan karbon. Sampah, misalnya, menghasilkan gas metan yang 20 kali lebih destruktif dari karbondioksida. Pengolahan sampah di dalam negeri juga relatif minim. Jika pajak karbon berlaku, imbuh Bobby, akan ada beban finansial yang muncul dari sampah.
Indonesia juga sebetulnya telah meluncurkan bursa karbon, yaitu platform perdagangan karbon berbasis kepatuhan (compliance) di bawah Bursa Efek Indonesia (BEI). Per Juli 2024, terdapat 3 proyek dan 69 peserta dengan nilai transaksi karbon sebesar Rp5,9 miliar. Nilai itu dinilai masih terlalu kecil.
“Satu tahun lalu kita me-launching bursa karbon. Bursa karbon di-launching, tidak ada yang jualan karbon. Jadi kita seperti buka warung, tetapi barang dagangannya tidak ada. Itu karena peraturannya tidak lengkap,” kata Bobby.
“Jadi kalau legislatif bisa menggolkan tahun depan UU EBT, kita banyak sekali potensi untuk mengejar ke sana,” tambahnya.