Meski demikian, perlu diingat juga bahwa semakin “kaku” atau tidak realistis asumsi yang digunakan, maka semakin sulit bagi kebijakan tersebut untuk efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya. Asumsi yang terlalu sederhana atau tidak memperhitungkan variabilitas dan kompleksitas dunia nyata juga dapat mengarah pada hasil yang tidak akurat atau tidak relevan.
Seperti halnya mengasumsikan bahwa semua individu bereaksi secara rasional terhadap insentif ekonomi dapat mengabaikan faktor-faktor psikologis atau sosial yang mempengaruhi perilaku. Sebab itu, asumsi yang tidak fleksibel sering kali membatasi ruang lingkup analisis dan dapat mengarah pada kebijakan yang kurang efektif atau bahkan kontraproduktif.
Di sisi lain, asumsi yang lebih fleksibel dan realistis, meskipun mungkin lebih rumit untuk dianalisis, cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih efektif dan relevan. Fleksibilitas dalam asumsi memungkinkan untuk memasukkan lebih banyak variabel dan skenario yang mencerminkan keadaan sebenarnya. Hal tersebut dapat membantu dalam merancang kebijakan yang lebih responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi. Artinya, meskipun asumsi tetap menjadi alat penting dalam penyusunan kebijakan, penting bagi para pembuat kebijakan untuk menyeimbangkan antara kesederhanaan asumsi dengan kebutuhan untuk akurasi dan relevansi dalam implementasi kebijakan. Alternatif Pendekatan Kualitatif Dalam konteks penyusunan kebijakan, pendekatan partisipatif semakin diakui sebagai metode efektif untuk mereduksi kelemahan yang muncul dari penggunaan variabel-variabel yang disusun secara terbatas atau tidak mencakup seluruh aspek relevan.