Tambahnya, diharapkan, para ulama dan pendeta kita juga ikut ambil bagian jangan sekedar menghabiskan waktu berdakwah di mimbar masjid, atau berkhotbah di mimbar gereja, tapi kenyataan baru sekarang 53% genarasi muda kita mengonsumsi informasi keagamaan di media.
Jadi sambungnya, di ruang digital itu sekarang menjadi ruang sosial baru bagi generasi muda bukan hanya sebagai tempat hiburan tetapi juga pembentukan identitas sosial keagamaan para pelajar dan generasi muda kita. Bukan hanya dari guru dan tokoh agama melainkan era digital belum tentu identik dan bermanfaat.
Lebih lanjut disebutkan, bahaya berikutnya soal apa yang disebut dengan pra peneliti dan pra ahli sebagai polarisasi karena algoritme bekerja dengan logika, jadi kalau kita suka sama si A kita sering debat-debat agama di media, di satu sisi itu baik mencerakahkan tetapi kalau tidak didukung dengan pengetahuan itu bisa menimbulkan problem serius bagi generasi muda kita.
”Kalau dia ada semacam normalisasi organisasi kekerasan simbolis itu membentuk genarasi muda kita dalam alam bawa sadar tentang apa yang disebut dengan kekerasan simbolis. Tapi itu pelan-pelan akan membawa kebencian terhadap kelompok tertentu dan Ini menurut saya ini adalah problem yang harus kita perhatikan secara baik,” tuturnya. (AM-29)










