Lebih lanjut Wagola menuturkan, secara demokratis, mungkin sah. Namun secara kelembagaan, hal itu menciptakan ambiguitas peran dan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.
“Sayangnya, respons terhadap kritik tersebut lebih banyak bersifat defensif. Kritik yang seharusnya dijawab dengan argumen, justru dibalas dengan pelabelan, bahkan tudingan bahwa sang pengkritik memiliki motif tersembunyi. Hal ini menunjukkan bahwa ruang dialog belum tumbuh dengan dewasa,” sambungnya.
Lebih parah lagi, Wagola menyebutkan, respons semacam ini bisa membungkam suara-suara kritis lainnya yang sesungguhnya lahir dari kecintaan terhadap lembaga itu sendiri. Sudah saatnya kita membedakan antara kritik terhadap sistem dan serangan personal. Ketika seseorang menyampaikan pendapat berdasarkan etika, data, dan nalar, maka itu merupakan kontribusi penting bagi perbaikan institusi.
Lembaga yang sehat ditandaskan, justru harus membuka diri terhadap kritik, bukan membangun tembok kecurigaan. Basir bukan satu-satunya yang bersuara. Banyak intelektual muda hari ini merasa gelisah melihat bagaimana idealisme akademik dan etika kelembagaan kerap dikompromikan.
Oleh karena itu menurutnya, membungkam kritik bukan hanya menutup ruang dialog, tetapi juga mencederai masa depan institusi itu sendiri. Mari rawat perbedaan, bukan dengan prasangka, tapi dengan etika berpikir dan kejujuran bertindak. (AM-29)