Menurutnya, ketika fungsi kelembagaan dijalankan di luar koridor institusional, bukan hanya efektivitas kerja yang dipertaruhkan, tetapi juga marwah dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu sendiri. Kritik terhadap kondisi ini merupakan bentuk kepedulian terhadap arah, integritas, dan tata kelola lembaga yang sehat.
“Ironisnya, pemberitaan media justru memelintir narasi dengan menampilkan seolah-olah Basir telah diwawancarai secara khusus oleh media tertentu. Padahal, pernyataan tersebut murni lahir dari refleksi intelektual yang ia tulis secara terbuka di media sosial, bukan hasil wawancara atau agenda tersembunyi,” pungkas Wagola.
Tukasnya, jika ada yang memanfaatkan pernyataan itu sebagai bahan propaganda, maka yang patut dipertanyakan adalah motif dan etikanya para aktor media dan politik yang memelintir narasi, bukan substansi kritik yang disampaikan. Dalam sistem demokrasi, memang sah seorang legislator menyuarakan pendapat di ruang publik.
Namun tambahnya, etika kelembagaan menuntut bahwa suara tersebut disampaikan di forum yang tepat yakni parlemen, tempat di mana ia secara formal memiliki kewenangan dan mandat rakyat. Ketika fungsi legislasi dan pengawasan justru dijalankan melalui media sosial atau ruang publik non-formal, maka yang dipersoalkan bukan hanya legalitas tindakan tersebut, tetapi juga kesesuaian etisnya.