Padahal, hasil pemeriksaan dokter menyatakan Setya Novanto sehat dan dapat menjalani persidangan.
Upaya tersebut diduga dilakukan untuk mengulur waktu karena pada saat bersamaan PN Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang diajukannya. Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011–2013.
Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selain itu, Setya Novanto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik. Majelis hakim juga mencabut hak politiknya selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Selanjutnya, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum. Melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Rabu (28/8/2019).
Perkara tersebut diregistrasi Mahkamah Agung pada 6 Januari 2020, lalu didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020. Permohonan PK itu diputus dalam waktu lama, yakni sekitar 1.956 hari. Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan PK Setya Novanto.
Dengan putusan PK tersebut, hukuman Setya Novanto dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.