KASUS KORUPSI e-KTP yang menyeret Setya Novanto berawal dari pengakuan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mengutip Tribunnews.com.
Nazaruddin saat itu mengungkap adanya aliran uang korupsi proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang diduga menerima uang sebesar 2,6 juta dollar AS. Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus ini menguat setelah namanya disebut dalam persidangan.
Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Dari total anggaran tersebut, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek. Sementara sisanya, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Melansir Tribunnews, berdasarkan fakta persidangan tersebut, KPK pun menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 29 September 2017, hakim mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dan menyatakan penetapan tersangka terhadapnya tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.