DI BALIK kokohnya nama Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh yang malang melintang dari medan tempur Kopassus hingga kursi strategis pemerintahan, tersimpan sebuah kisah yang begitu lembut kisah tentang sebuah usapan kepala dan doa seorang Proklamator yang kelak menjadi kenyataan, dikutip dari akun FB Om Phol.
Sebuah Pertemuan Takdir di Balige, 1948
Tahun 15 Juni 1948, di Balige, Sumatera Utara, rakyat berbondong-bondong menyambut kedatangan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Di tengah kerumunan itu, berdirilah seorang perempuan bernama Siti Frida Naiborhu, seorang pengagum berat Bung Karno. Dalam gendongannya, seorang bayi mungil berusia beberapa bulan Luhut Binsar Pandjaitan.
Tak ada yang menyangka, usai menyapa rakyatnya, Bung Karno melangkah mendekati ibu muda itu, menatap bayi kecil yang bening matanya, lalu mengusap lembut kepalanya. Di saat itulah sang Proklamator mengucapkan sebuah kalimat yang akan menggetarkan sejarah:
> “Suatu hari anak ini akan menjadi orang besar.”
Sebuah doa sederhana, tetapi kelak menjadi kenyataan yang gemilang.
Jejak Pengabdian Seorang Prajurit
Waktu berjalan. Luhut tumbuh menjadi pemuda tangguh yang memilih jalan hidup sebagai prajurit Komando Pasukan Khusus, Korps Baret Merah yang dikenal sebagai pasukan paling elit di negeri ini. Dari misi tempur ke misi kenegaraan, Luhut menorehkan prestasi yang tak sedikit. Ia bahkan menjadi pendiri dan Komandan pertama Detasemen 81 Anti Teror Kopassus, cikal bakal pasukan antiteror terbaik Indonesia.










