Setelah Kemenkeu menghitung beban fiskalnya, terdapat jebakan ruang fiskal dalam jangka panjang karena iuran dari pekerja dan pemberi kerja terlampau kecil. “Bila RUU ini diloloskan menjadi UU, maka akan sangat memberatkan pemeritahan Joko Widodo, yang memiliki banyak program prioratas yang sudah dijanjikan kepada Masyarakat,” jelasnya.
Untuk itu, dalam rapat kerja dengan DPR, Menkeu Chatib Basri secara tegas mengatakan agar pemerintah dan DPR jangan buru-buru mengesahkan RUU Tapera menjandi UU. Sebaiknya dilakukan kajian lagi yang lebih mendalam dan melakukan konsolidasi dengan program yang sama di BPJS.
Akhirnya, Paripurna DPR batal menyetujui RUU Tapera menjadi UU. Pasalnya, adanya penolakan pemerintah terhadap satu pasal terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta.
“Alasan dari pemerintah, karena adanya perdebatan pada satu pasal, yaitu terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta, jadi Hanya satu pasal,”ungkap Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi. RUU ini terdiri atas 12 Bab dan 78 pasal dan sudah diproses selama dua tahun.
Tim Panja menyesalkan sikap pemerintah yang telah menarik diri atas pembahasan RUU Tapera. Dalam RUU ini, rencananya ada ketentuan soal aturan para pekerja swasta maupun PNS bakal dikenakan potongan dana kepesertaan pegawai (potongan gaji) untuk Tapera sebesar 3% dari penghasilan setiap bulan. Pungutan sebesar 3% Tapera tersebut terbagi atas 0,5% kontribusi pemberi kerja dan 2,5% kontribusi pekerja (swasta/PNS) sehingga total pungutan 3%.
Bagi masyarakat yang sudah punya rumah, mereka tetap dipungut iuran sebagai tabungan. Dana yang sudah dikumpulkan bisa diambil saat pensiun atau diwasiatkan saat meninggal. Hal ini juga berlaku bagi pekerja formal yang sedang mencicil Kredit Pemilikan Rumah (KPR).