Menurutnya, kekerasan seksual dapat mempengaruhi kesehatan perempuan dalam berbagai aspek – baik yang terjadi secara langsung maupun jangka panjang, yang dampaknya jelas terlihat maupun yang tersembunyi.
Perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dapat mengalami luka fisik, terkena infeksi menular seksual, kehamilan tidak dikehendaki, hingga gangguan kesehatan mental. Selain itu, para penyintas masih menghadapi stigma dan penolakan dari keluarga dan komunitas mereka yang dapat menghambat proses pemulihannya.
Dalam Algoritma Tatalaksana Penanganan Kesehatan Korban Kekerasan Seksual yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2021, dijelaskan langkah-langkah penanganan yang perlu dilakukan tenaga kesehatan untuk korban dalam kategori gawat darurat, gawat tidak darurat, dan tidak gawat tidak darurat.
Meskipun algoritma ini sudah cukup baik untuk memberikan langkah penanganan, sayangnya masih banyak kesulitan yang dialami korban untuk mendapatkan layanan yang sesuai. Sebagai contoh, ketika korban kekerasan mengalami penetrasi seksual 72 jam maka tenaga kesehatan yang menangani wajib memberikan kontrasepsi darurat (di luar tindakan medis lain yang perlu dilakukan).
Sayangnya, belum semua layanan kesehatan yang dapat memberikan pertolongan pertama kepada korban kekerasan seksual mau atau dapat memberikan kontrasepsi darurat karena keraguan dan stigma yang melekat pada kontrasepsi darurat.












