“Ini bukan semata persoalan administratif, melainkan menyangkut persoalan konstitusional,” katanya.
Menurut Windu, secara prinsipil, juru bicara presiden adalah perpanjangan langsung dari presiden. Jubir harus berdiri di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan menjadi subordinat dari pejabat struktural lainnya. Ia menegaskan bahwa posisi ini menyangkut representasi simbolik, politik, dan hukum dari presiden di ruang publik.
“Ketika peran tersebut direduksi menjadi bawahan struktural, yang terganggu bukan hanya tata kelola pemerintahan, tetapi juga martabat institusi kepresidenan itu sendiri,” katanya.
Di samping itu, penunjukan Menteri Sekretaris Negara sebagai juru bicara presiden tanpa melalui proses pelantikan atau pengangkatan resmi oleh presiden, sebagaimana diatur dalam Perpres 82/2024 itu sendiri, semakin memperkuat dugaan pelanggaran terhadap asas legalitas dan prosedur hukum yang sah.
“Karena itu, pengunduran diri Hasan Nasbi bukanlah akhir dari persoalan. Selama Perpres 82/2024 masih berlaku sebagai hukum positif, maka kekacauan struktural, kerancuan hukum, dan persoalan legitimasi dalam sistem komunikasi kepresidenan akan terus berlangsung,” katanya.
Ia menilai solusinya hanya satu, yakni mencabut Perpres 82 Tahun 2024. Menurut dia, dengan mencabut dan menyusun ulang regulasi ini secara hati-hati, terbuka, dan konstitusional, tata kelola komunikasi kepresidenan dapat dikembalikan ke jalur yang benar, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang akuntabel.