Data dari lembaga pemantau global memperkuat kekhawatiran itu. Skor indeks demokrasi Indonesia versi The Economist Intelligence Unit terus menurun dari 6,71 (2022) menjadi 6,44 (2024), menempatkan Indonesia dalam kategori flawed democracy—demokrasi cacat. Freedom House juga menurunkan skor kebebasan Indonesia dari 59 menjadi 56 poin, menandakan bahwa negara ini belum sepenuhnya bebas.
Faktor penyebabnya beragam, dari korupsi yang meluas, pembatasan kebebasan pers, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga patronase politik yang makin kuat.
Wijayanto menilai perbaikan demokrasi perlu dilakukan dengan penguatan masyarakat sipil dan kebebasan media. Harus ada ruang bagi masyarakat sipil serta media untuk bicara bebas dan mengkritik. “Itu dibutuhkan oleh kekuasaan agar bisa berjalan sehat,” ujarnya.
Evaluasi terhadap kabinet dan iklim demokrasi seakan-akan berpadu dalam satu cermin: kekuasaan yang terlalu besar tanpa keseimbangan akan kehilangan kepekaan. Firman Noor dari BRIN mengatakan Prabowo perlu memperkuat arah kepemimpinan dan komunikasi politiknya.
Tahun pertama seharusnya menjadi fase konsolidasi. Namun, bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, tahun pertama justru memperlihatkan beban besar: antara memenuhi janji politik dan menjaga kepercayaan publik. Di tengah sorotan terhadap kabinet gemuk, penurunan indeks demokrasi menjadi alarm keras bagi masa depan pemerintahan ini.