Kebijakan luar negeri Prabowo mungkin salah satu akar persoalan. Caranya membawa Indonesia masuk ke BRICS—perkumpulan negara-negara besar non-Amerika—saat negara itu berancang-ancang menerapkan tarif resiprokal malah menjadi blunder. Bukannya memperkuat posisi tawar, manuver itu membuat negosiasi dengan Amerika makin alot.
BRICS merupakan blok politik, bukan aliansi ekonomi yang memberikan keuntungan nyata bagi Indonesia. Lagi pula, neraca perdagangan Indonesia dengan Cina dan Rusia, dua negara pentolan BRICS, defisit. Sebaliknya, kita mengalami surplus dengan Amerika. Karena itu, aneh jika Prabowo malah bersekutu dengan negara yang tak memberikan keuntungan optimum.
Yang juga fatal, Prabowo ditengarai mengesampingkan rekomendasi sejumlah pejabat saat bernegosiasi dengan Trump. Dia juga tidak didampingi pembantu yang ahli perdagangan internasional. Lantaran Prabowo tidak memahami persoalan teknis, hasilnya adalah kesepakatan dagang yang merugikan Indonesia.
Setelah nasi menjadi bubur, Prabowo menuduh mereka yang punya pendapat berbeda hanya bisa nyinyir. Dia menafikan fakta bahwa banyak orang di Indonesia akan terkena dampak kesepakatan tersebut. Pada akhirnya, Prabowo malah turut “membuat Amerika jaya lagi” seperti sesumbar Trump dalam kampanyenya.