“Yang dikhawatirkan dinamika ini tidak akan menyelesaikan masalah, tapi justru akan menimbulkan problem konflik serius di Papua,” kata Al Araf, diberitakan Tempo.co.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan bahwa pembentukan Yonif Penyangga Daerah Rawan di Papua ini memang diharapkan bisa meredakan ketegangan sosial antara militer dengan masyarakat setempat. Selain itu, katanya, pembentukan batalion ini bisa menciptakan stabilitas wilayah melalui pembangunan ekonomi.
“Pendekatan ini bisa dianggap sebagai upaya soft approach yang fokusnya pada membangun hubungan positif dengan masyarakat,” ucap Khairul ketika dihubungi, Rabu, 2 Oktober 2024.
Namun, kata Khairul, ratusan prajurit yang ada di batalion itu juga memiliki kemampuan tempur dan berpotensi berfungsi sebagai kekuatan cadangan militer jika kondisi keamanan memburuk. Menurut dia, hal semacam itu bisa menciptakan risiko yang lebih besar, apabila pendekatan militer lebih mendominasi.
“Dalam konteks Papua, kehadiran militer yang lebih dominan dapat memperburuk ketegangan yang ada,” ucapnya.
Selain itu, adanya stigma masyarakat Papua terhadap keberadaan militer di wilayah rawan justru menciptakan perasaan diawasi. Situasi ini, menurut dia, membuat warga Papua merasa tertekan dan tidak aman. “Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dalam situasi kritis bisa memperburuk citra TNI di mata warga (Papua),” ujar Khairul.