Dalam suasana Perang Dingin, kunjungan Sukarno itu menghebohkan karena Indonesia sudah menyatakan diri nonblok dalam Konferensi Asia-Afrika setahun sebelumnya. Namun usaha-usaha menyeret Indonesia masuk ke Blok Barat atau Blok Timur makin gencar. Amerika memakai utang IMF untuk membujuk Indonesia bergabung dengan Blok Barat.
Program-program perbaikan ekonomi disusun tim IMF pada 1963, yang dikenal sebagai Deklarasi Ekonomi atau Dekon. Dekon segera mendapat tentangan keras. Front Nasional—gabungan partai, golongan, dan gerakan mahasiswa—bersatu menolak program IMF, yang mereka sebut agen kapitalisme-liberal.
Terjepit di antara dua kepentingan, Sukarno setuju dengan Front Nasional. Dia meminta IMF mengoreksi proposal kebijakan ekonomi. Sukarno bahkan berbalik arah dengan membentuk poros Jakarta-Peking-Phnom Penh-Pyongyang. Pemicunya adalah pengakuan Inggris, anggota Blok Barat, atas kemerdekaan Malaysia. Menurut Bung Karno, pengakuan Inggris itu bisa menggoyahkan stabilitas Asia Tenggara.
Amerika pun mengancam Indonesia jika terus-menerus menyerukan “ganyang Malaysia” dengan menyetop pinjaman IMF. Bung Karno meresponsnya dengan sebuah pidato yang sangat terkenal pada 17 Agustus 1965 dalam perayaan 20 tahun kemerdekaan. “Selamanya saya bertolak dari pendirian bahwa imperialismelah yang memerlukan kita, bukan kita memerlukan kaum imperialis! Inilah keterangannya, kenapa sesudah kaum imperialis terlalu banyak cingcong dan bertingkah, aku serukan ‘Go to hell with your aid!’”.