Menurutnya, bandara internasional harusnya bisa mengerek devisa negara seiring masuknya turis. “Tapi ternyata terbalik. Malah justru orang-orang kita yang pergi ke luar negeri,” jelasnya.
Ia mengatakan 17 bandara yang status internasionalnya dihapus selama ini banyak hanya melayani penerbangan ke Asia Tenggara. Makanya banyak orang Indonesia yang pergi ke negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura sekadar hanya untuk belanja sehingga yang diuntungkan justru negara-negara tersebut.
Deddy menilai bila bandara internasional dibatasi, penerbangan domestik akan naik karena turis asing akan transit menggunakan penerbangan lokal ke destinasi utama.
“Pemerintah pasti akan berpikir bagaimana caranya mendatangkan devisa besar ke dalam negeri, bukan mempermudah mengeluarkan devisa ke luar negeri,” katanya.
Senada, Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas mengatakan penetapan status bandara internasional awalnya ditujukan untuk menarik wisatawan asing ke Indonesia karena dengan penerbangan langsung diharapkan biayanya lebih murah.
Namun dalam praktiknya yang terjadi adalah keberadaan bandara internasional di sejumlah daerah menarik warga setempat berwisata ke luar negeri, terutama ke negara-negara ASEAN.
Akhirnya yang terjadi penumpang ke luar negeri lebih banyak daripada penumpang yang datang dari luar negeri.
Ia mencontohkan Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang di mana lebih banyak warga Semarang pergi ke Singapura, dibandingkan orang Singapura ke Semarang.
“Maka sebetulnya kita rugi dengan pelabelan bandara internasional di sejumlah wilayah, karena keberadaan bandara internasional itu justru menyedot devisa kita ke luar, bukan sebaliknya,” katanya.
Bisa Tekan Harga Tiket Pesawat